Halaman Utama

Tuesday 8 March 2011

LDII = kelompok salafi?

Muhammad Nashiruddin al-Albani LDII Watch, LDII (1). "Mengapa LDII menerima takhrij hadits oleh syaikh al-albaani? Padahal kemunculan syaikh al Albaani mengundang banyak kontroversi di kalangan ulama ahli hadits?" (2). "Apakah dg demikian berarti LDII = kelompok salafi? mengingat kelompok salafi juga senang merujuk pada pendapat syaikh Al Albaani?"

Sebelum menanggapi, mari kita sedikit mendalami hal-hal yang berkaitan dengan ilmu hadits (sesuai topik kita kali ini). Secara singkat, ilmu hadits mengenal 2 cabang ilmu, yakni riwayah dan diroyah.

Riwayah hadits dipergunakan agar seseorang mengerti
bagaimana cara menerima dan menyampaikan suatu hadits. Karena merupakan suatu keistimewaan umat islam dibanding umat agama samawi lain-nya (baca: Yahudi dan Nasrani) adalah bahwa umat islam memiliki sistem periwayatan ucapan, kelakuan, maupun petunjuk-petunjuk dari Nabi-nya. Faedahnya adalah agar tidak terjadi kesalahan dalam mengutip dan memahami apa yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad SAW. Cabang ilmu ini (jika tidak ingin disebut tradisi) akan selalu dipegang oleh umat islam yang mengerti bahwa dalam menerima ilmu agama, wajib menyandarkan ilmu mereka kepada para guru diatasnya yang secara logis pasti lebih dulu tahu dan mengerti ilmu yang disampaikan kepada mereka dibanding generasi sesudahnya. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW menyandarkan ilmunya dari malaikat Jibril AS. Karena memang sudah kodrat manusia biasa tidak akan mungkin bisa menerima dan memahami ilmu tanpa diberitahu oleh orang yang lebih dahulu mengerti akan ilmu tersebut, yakni para ulama/generasi sebelumnya. Sistem/kaidah "menerima dan menyampaikan" inilah yang para ulama ahlussunnah wal jama'ah menyebut-nya sebagai manquul (naqola - yanquulu).

Cabang lainnya adalah diroyah hadits, merupakan kaidah-kaidah ilmu untuk mengetahui kualitas sanad yang diperlukan untuk menentukan bisa dipakai atau tidaknya suatu rangkaian sanad yang terbentuk dari sistem riwayah (manqul) diatas.

Salah satu muballigh LDII yang telah lama menuntut ilmu al Qur'an dan al Hadits di Ma'had Haraam/Masjidil Haaram, ustadz Kholil Asy'ari, mengatakan dalam tausiyahnya di Kalimantan tahun 2010 bahwa diperlukan pemahaman akan kaidah ilmu hadits yg sangat luas, dalam, dan ketelitian untuk dapat menentukan derajat suatu hadits itu maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Upaya seperti ini tidaklah semudah yang kita bayangkan. Sebagai contoh adalah bilamana ada suatu atsar hadits yang di-takhrij oleh Muhammad bin Ismail al-Bukhori dan di-tahqiq olehnya sebagai hadits shohih, lalu berabad-abad kemudian muncul seorang syaikh Nashiruddin Al Albaani yang men-tahqiq atsar hadits yang sama sebagai hadits dhoif, mana yang antum anda pilih? apakah serta merta kita "diwajibkan" untuk memilih pendapat syaikh al Albaani? Padahal sejak berabad-abad lalu para ulama ahlussunnah telah bersepakat/berijma' bahwa hadits shohih Bukhori sudah final, secara kaidah jarh wa tad'l pun sudah final, sebagai bukti adalah bahwa seluruh ulama ahli hadits (yang memiliki isnad/sanad yg muttashil) sampai saat ini tidak ada yang merubah-ubah keterangan isi dan derajat haditsnya.

Contoh lain yang serupa ada didalam kaidah ilmu fiqih. Asas dan kaidah untuk menentukan bahwa sesuatu yang syubhat/serupa/samar) itu masuk ke derajat haram, halal, atau tetap syubhat, para ulama saling berselisih satu sama lain. Tidak mungkin keilmuan salah seorang ulama ahlussunnah "harus" diterima oleh ulama ahlussunnah lain-nya jika masing-masing ulama tersebut mempunyai hujjah yg sama kuat. Apalagi secara adab/etika, para ulama bersepakat bahwa memang ada wilayah-wilayah tertentu bagi mereka utk berselisih faham (khilafiyah), dan hal tsb wajib dihormati.

Kaitannya dengan hal ini, maka seseorang tidak bisa secara sederhana menyimpulkan bahwa para ulama lain yang tidak menerima pendapat syaikh al Albaani disebut ulama yg menyelisihi sunnah. Karena as-sunnah itu sendiri bukan berasal dari ucapan dan perbuatan syaikh al Albaani.

Tanggapan nomor (1)

"Mengapa LDII menerima takhrij hadits oleh syaikh al-albaani? padahal kemunculan syaikh al-albaani mengundang banyak kontroversi di kalangan ulama ahli hadits?"

---------

Ulama LDII yang menuntut ilmu di Mekkah, seperti: ustad Kholil, ustad Aziz Ridwan, menerangkan bahwa ada perbedaan antara takhrij dan tahqiq.

Takhrij adalah dimana suatu atsar hadits berasal bersamaan dengan isnad/sanad yang menyertainya. Ulama ahlussunnah yang sangat terkenal dengan takhrij-nya adalah ashaabus sittah (ulama 6), meski ditengarai masih banyak ulama ahlussunnah yang memiliki rangkaian isnad/sanad masing-masing secara manquul dan muttashil sampai kepada Rosul shollallohu 'alaihi wasallam hingga 49 perawi. Dalam kaidah takhrij hadits, bisa jadi matan hadits yang tertulis dalam hadits Bukhori memiliki kesamaan dengan matan hadits yang dimiliki oleh imam At-Thoyalisi, dsb.

Tahqiq merupakan upaya meneliti suatu manuskrip hadits, termasuk mansukrip kitab2-kitab para ulama yang telah wafat agar isi dari manuskrip tersebut menjadi jelas. Tidak diragukan lagi, syaikh al Albaani adalah seorang ulama ahlussunnah moderen yang memiliki kelebihan di bidang tahqiq, tetapi yg perlu diingat adalah, beliau bukanlah seorang pen-takhrij hadits. Atas penjelasan yang sederhana ini maka kita segera mengetahui bahwa syaikh Al Albaani bukanlah seorang ulama pen-takhrij hadits, tetapi beliau hanyalah seorang ulama pen-tahqiq hadits (muhaqqiq).

Dari biografi yang banyak tersebar dimana-mana bisa diketahui bahwa dalam upaya-nya men-tahqiq, beliau membutuhkan ketelitian dan waktu yang tidak sedikit. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa untuk men-tahqiq sebuah hadits, seorang ulama tidak memerlukan kaidah manquul/riwayah. Siapun yang mampu, dapat men-tahqiq suatu hadits sesuai kadar ilmu yg dimiliki-nya. Semisal ia mampu memahamu Nahwu Shorof atau mengerti ilmu alat lainnya. Contoh konkrit bahwa proses tahqiq tidak membutuhkan kaidah manquul adalah sebagaimana seorang Ibn Jawzi yg men-tahqiq beberapa hadits yang ada dalam Kitab al-Jami' at-Tirmidzi. Dalam men-tahqiq, Ibn Jawzi tidak memerlukan sanad yang muttashil kepada Imam Tirmidzi selaku pen-takhrij. Dan hal tersebut wajar-wajar saja.

LDII sebagai salah satu pilar gerakan dakwah islam di Indonesia, yang sejak berdirinya selalu menomorsatukan kemurnian al Qur'an dan al Hadits, melihat upaya syaikh Al Albaani secara proporsional, adil, objektif. Meski pada kenyataannya syaikh Al Albaani banyak mengundang kontroversi, termasuk sempat diusir oleh Kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1963, namun dibalik itu semua para ulama LDII sepakat memandang bahwa apa yang diupayakan oleh syaikh Al Albaani juga merupakan salah satu manifestasi utk memurnikan al Qur'an dan al Hadits, sejalan dengan tujuan utama LDII. Maka tidak ada keraguan bagi LDII untuk menerima tahqiq hadits yg dilakukan oleh syaikh Al Albaani atau siapa pun, yg memang ahli dalam bidang ilmu diroyah hadits. LDII tidak mau terlalu dalam melihat kontroversi yang terjadi disekitar kehidupan syaikh Al Albaani. Tidak ada manusia yg sempurna. "Tak ada gading yang tak retak". Cukuplah LDII memandang dari sisi keilmuannya.

Salah satu imam Madzhaab, Imam Malik bin Anas, pernah berujar di hadapan pusara Rosululloh SAW, "semua orang dapat diambil dan ditolak pendapatnya, kecuali pendapat ahli kubur ini". (sambil menunjuk kubur Rosululloh SAW). Untuk itu, selain nash al Qur'an dan al Hadits, LDII menerima semua pendapat ulama. Dengan syarat bahwa pendapat tersebut tidak bertentangan dg al Qur'an dan al Hadits. Tatkala pendapat ulama tersebut menyelisihi al Qur'an dan Hadits, LDII jelas menolaknya. Dalam hal ini LDII menerima tahqiq hadits oleh syaikh Al Albaani sama seperti LDII menerima tahqiq ulama2 salaf yg ilmu-nya diatas syaikh Al Albaani, semisal Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Maajah, An-Nasai, dll.

Dan yang perlu digarisbawahi oleh segenap warga LDII yg belum sepenuhnya mengerti (baca: bingung), bahwa dalam pe-manqul-an kitab Hadits Ibnu Maajah juz 2, LDII tidak mutlak HANYA memakai tahqiq syaikh al Albaani saja. Hal ini terbukti dari ada-nya pen-tahqiq lain yg sering kali disebut juga semisal Tirmidzi, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dll dalam menilai atsar-atsar hadits dalam kitab hadits Ibnu Maajah juz 2.

Tanggapan nomor (2)

"apakah berarti LDII = kelompok salafi? mengingat kelompok salafi juga senang merujuk pada pendapat syaikh Al Albaani?"

LDII tidak pernah tasyabbuh (meniru) siapa pun dalam perkara ubudiyah. LDII sejak awal secara gamblang merujuk pada al Qur'an dan al Hadits, dimana al Qur'an dan al Hadits merupakan jalan bagi umat islam yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Adapun saat ini LDII mulai menyampaikan materi tahqiq hadits secara umum khususnya dari syaikh al Albaani, mensyaratkan kepada khalayak umum bahwa LDII tidak hanya menerima ilmu dari kalangan sendiri (ekslusif) sebagaimana fitnah dan hasutan yg sering kita dengar dan baca di dunia maya. Siapa pun tentu akan diterima pendapatnya dengan syarat tidak menyelisi al Qur'an dan al Hadits sebagai poros utama dalam ibadah.

Sekali lagi, mudah-mudahan tidak ada warga LDII yang kebingungan tatkala ana menyampaikan beberapa hal kontroversi yang pernah ada dalam kehidupan syaikh al Albaani. Itu bukan berarti ana tidak menghargai syaikh al Albaani yang kita terima metode tahqiq-nya, namun mencoba memberikan gambaran seutuh-nya siapa syaikh al Albaani. Agar selalu objektif dan tidak ta'assub (fanatik buta) sebagaimana orang-orang yang bermadzhaab dengan syaikh al Albaani. Semoga Alloh memberi manfaat dan barokah! Wallohu a'lam. (TG dari milis LDII, 8 Maret 2011)

2 comments:

  1. Syukur Alhamdulillahi jaza kallohu khoiro sy sampaikan secara khusus untuk Pak TG & teman-teman lainnya yang telah memberikan jawaban yang obyektif dan jelas. Jadi semakin mantab saya mengkaji ilmu Qur'an Hadist bersama LDII. Best regards (M.A Rahman)

    ReplyDelete
  2. AL-HAMDULILLAAH JAZAAKALLAAHU KHOIROO... atas pencerahannya ... super sekali... semoga manfaat dan barokah....

    ReplyDelete